Kamis, 19 Januari 2012

when the star fall

I love him but I can't show it,
want him but he can't know it,
need him but I know it’ll never be,
if only he needed me.

Malam itu Kota Jogja begitu dingin. Angin berhembus menerpa pelan tubuh kurus itu. Dirapatkannya jaket cokelat yang ia kenakan. Lampu hijau menyala, motor matic cokelat itu pun segera melaju ke Lapangan Gor Universitas Negeri Yogyakarta.
 “Akhirnya lo datang juga. Lama banget?” ucap seorang gadis bernama Wina.
“Sori. Tadi mesti nunggu adek gue tidur dulu. Biasalah,” sahut gadis kurus itu dengan cengiran.
“Hai, Myr.”
“Hai, Ar.”
“Nunggu adek lo tidur lagi?” tanya seorang anak laki-laki dengan kaus buntung hitamnya.
Absolutely.”
“Oke temen-temen semua kita pemanasan dulu yuk!”
Seorang anak laki-laki bernama Doni memimpin latihan malam itu. Sementara teman-temannya mengikuti aba-aba. Rasa dingin yang ada tak lagi dirasa mereka yang bermandikan keringat. Bola orange itu dipantulkan, di-drible, dioper, hingga dimasukkan ke dalam ring dengan cara yang tak biasa.

Selasa, 17 Januari 2012

Perih, Ketika Semuanya Terasa Salah

Perih, itu yang harus aku rasakan. Sejujurnya aku tak menginginkan rasa ini. Tapi perasaan dimana aku hanya ingin kau bersamaku, menjadi satu-satunya orang mencintaiku, terus menggerogoti relung seiring berjalannya waktu. Hingga akhirnya perih jua-lah yang kuraih.
Umurku tak remaja lagi. Di saat rekan-rekan tersenyum bersama pendamping, aku hanya dapat tersenyum pada mentari fajar, senja dan heningnya malam.
Kuhembuskan napas dengan berat. Berupaya agar perih yang kurasa dapat berkurang disetiap molekul gasnya. Namun nampaknya hanya imajinasiku.
Kududuk di antara karang yang dihantam ombak. Ditemani angin laut dan kicauan burung-burung yang hendak kembali ke rumahnya. Suasana yang menciptakan aku bebas untuk menjatuhkan air mataku sebanyak yang aku inginkan.
Kutatap mentari yang tenggelam perlahan dengan air mata yang mengering di pipi. Aku berdoa dalam hati, keesokan pagi aku diizinkan melihat mentari yang kembali timbul di ufuk timur. Itu saja cukup.
«««
Namaku Abigael. Biasanya aku dipanggil Abi. Aku mengenal seorang pria sejak duduk di bangku SMA. Siapa yang menyangka kalau kehidupanku akan bersekitaran dengan hidupnya. Hingga kami berdua pun berada dalam gedung perkantoran yang sama.

Minggu, 24 Juli 2011

Langit Sore di Seoul #5

#just me and you

Jeong Eun menatap kedua laki-laki itu secara bergantian dengan bingung. Chang Min…? Appa…?

Sekarang ketiganya berada di meja yang sama.

“Sudah cukup lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Apakah masih menjadi relawan di rumah sakit?”

“Relawan rumah sakit?” tanya Jeong Eun dalam hati.

“Saya sudah tidak bekerja menjadi relawan. Sekarang…saya bernyanyi. Seperti itu.”

“Oh, begitukah? Lalu…bagaimana kau bisa bertemu dengan putriku?”

“Itu semua tidak disengaja. Kami pertama kali bertemu saat di bandara Incheon. Waktu itu…”

“Ah, Appa, tidakkah Appa ingin berjumpa dengan seseorang di sini?” ucap Jeong Eun mengalihkan pembicaraan.

Dia tidak ingin ayahnya tahu apa yang sudah terjadi antara dia dan Chang Min.

“Oh, kau benar. Appa harus bertemu dengan relasi di sini. Appa lupa.”

“Wah, Appa harus segera menemui relasi Appa itu.”

“Tapi…kalian?”

Jumat, 15 Juli 2011

Langit Sore di Seoul #4

#Perjodohan

Jeong Eun terdiam sejenak melihat seseorang yang berada beberapa meter di depannya. Orang itu pun juga menatapnya. Namun, Jeong Eun tidak peduli. Ia kembali melangkah hingga ia melewati laki-laki itu.
“Kau sudah pulang?”
Eum,” sahut Jeong Eun singkat.
Ia langsung menuju kamarnya. Sedangkan di luar, kedua laki-laki itu saling bertatapan. Namun saat mendapat panggilan melalui ponselnya, Chang Min segera kembali ke mobil dan meninggalkan tempat itu.
Sesampai di kamar, Jeong Eun langsung membuka kopernya. Mengecek apakah barang-barangnya lengkap. Ia menghela napas saat melihatnya utuh dan tak ada yang berubah.
Benda pertama yang ia ambil adalah foto terakhir bersama ibunya. Jeong Eun mengenakan seragam sekolah dan ibunya mengenakan seragam pasien rumah sakit. Sebuah senyuman terukir di wajah Jeong Eun. Setelah puas memandangi, satu persatu ia keluarkan barang dari dalam koper dan diletakkan pada tempat yang sesuai.
Tok-tok-tok. Jeong Eun menoleh ke arah pintu.
Nuguseyo?”

Kamis, 30 Juni 2011

Langit Sore di Seoul #3


#Lari!

Hy..Hyung?”
“Kenapa…dia memanggilmu seperti itu, eoh?” tanya Jeong Eun sambil menatap Chang Min.
 Chang Min tersenyum.
“Aku juga tidak tahu. Mungkin dia ingin menganggapku sebagai hyungnya.”
“Benarkah itu Seong Ho?”
Annio. Chang Min memang hyungku,” sahut Seong Ho.
“Aku tidak mengerti apa maksud kalian berkata seperti tadi. Dan aku tidak peduli karena bukan urusanku. Silahkan kalian lanjutkan,” ucap Jeong Eun sambil berlalu.
Namun tangannya ditahan tangan lain. Jeong Eun menatap Chang Min.
“Apakah kau tau kalau kau dijodohkan dengan Seong Ho?”
Jeong Eun menatap Seong Ho yang kemudian juga menatapnya.
“Jangan bercanda,” sahut Jeong Eun sambil melepas tangan Chang Min.
 
Copyright 2009 My corner brain. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator