#Lari!
“Hy..Hyung?”
“Kenapa…dia memanggilmu seperti itu, eoh?” tanya Jeong Eun sambil menatap Chang Min.
Chang Min tersenyum.
“Aku juga tidak tahu. Mungkin dia ingin menganggapku sebagai hyungnya.”
“Benarkah itu Seong Ho?”
“Annio. Chang Min memang hyungku,” sahut Seong Ho.
“Aku tidak mengerti apa maksud kalian berkata seperti tadi. Dan aku tidak peduli karena bukan urusanku. Silahkan kalian lanjutkan,” ucap Jeong Eun sambil berlalu.
Namun tangannya ditahan tangan lain. Jeong Eun menatap Chang Min.
“Apakah kau tau kalau kau dijodohkan dengan Seong Ho?”
Jeong Eun menatap Seong Ho yang kemudian juga menatapnya.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya sebelum kau mengetahui sendiri dari ayahmu. Tapi…sepertinya Seong Ho yang menginginkannya. Bukan begitu, dongsaeng?”
“Keure. Aku memang ingin kau tau hal itu, Jeong Eun. Agar kau tak lagi dekat-dekat dengan Chang Min hyung.”
“Mwo? Apa kau pikir aku menyetujui hal itu, eoh?” sahut Jeong Eun yang membuat Chang Min tersenyum.
“Tidak ada kata perjodohan diantara kita. Jadi kau tidak perlu repot-repot mengatur hidupku. Aku dekat dengan siapa itu urusanku,” lanjut Jeong Eun sambil berlalu.
Tidak ada yang menahannya. Tinggalah dua kakak beradik yang saling bertatapan.
“Bukan aku yang membongkarnya. Kau sendiri yang melakukannya. Jadi…terimalah akibatnya,” ucap Chang Min.
Ia berjalan menuju mobilnya. Namun baru saja membuka pintu, sebuah hantaman mengenai wajahnya. Setelah jatuh, ia hanya diam. Membiarkan pelaku pergi tanpa sepatah katapun.
*
Jeong Eun masuk ke dalam rumah dan langsung menemui ayahnya di ruang kerja.
“Ah, kau sudah pulang?” ucap Lee Kun Hee.
“Benarkah aku dijodohkan dengan Seong Ho?”
Lee Kun Hee terdiam. Perlahan melepas dan meletakkan kacamatanya di meja.
“Apakah Seong Ho yang mengatakannya?”
“Jadi benar?”
“Jeongmal mianhae, Jeong Eun-a.”
“Untuk apa Appa meminta maaf padaku? Apakah Appa merasa bersalah sudah menjodohkan Seong Ho denganku?”
“Bukan begitu. Appa meminta maaf karena tidak mengatakannya sebelum Seong Ho.”
“Wae, Appa? Kenapa Appa melakukan ini? Aku tidak ingin dijodohkan.”
“Apakah Seong Ho kurang baik untukmu? Atau kau sudah ada pilihan lain?”
Jeong Eun terdiam sejenak.
“Terserah Appa saja. Mungkin hidupku adalah hidup Appa. Jadi sesuka Appa saja mengaturnya seperti apa, aku akan mengikutinya.”
Jeong Eun menundukkan kepala sejenak kemudian meninggalkan ayahnya. Lee Kun Hee terdiam mendengar ucapan putrinya. Mencoba memahami.
*
Jeong Eun menghempaskan tubuhnya ke kasur tanpa melepas sepatu dan mantel. Matanya kemudian mendapati bingkai fotonya bersama ibunya. Diraih dan ditatap dalam diam.
Setelah menghela napas, diletakkannya bingkai foto itu di meja. Ia pun mulai mengganti pakaian untuk tidur. Kemudian ia kembali naik ke atas kasur. Dinyalakannya TV dan sibuk memilih acara untuk ditonton.
Tiba-tiba ia melihat sesosok wajah yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Shim Chang Min. Entah itu cuplikan apa Jeong Eun tidak peduli. Ia hanya memperhatikan orang itu. Saat lelaki itu tersenyum kemudian tertawa, Jeong Eun ikut tersenyum.
Saat tersadar, senyum Jeong Eun menghilang.
“Apa yang terjadi denganku?” batinnya.
Saat teringat sesuatu, ia menyapu pandangan ke sekeliling kamarnya. Jeong Eun menepuk jidatnya.
“Koperku! Kenapa bisa lupa lagi?”
Tiba-tiba ada bunyi panggilan masuk dari ponsel Jeong Eun. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Jeong Eun langsung mengangkatnya.
“Yeobseo.”
“Kau melupakan kopermu. Apa kau sengaja?” suara lelaki.
“Oh kau. Tentu saja tidak. Aku…hanya lupa.”
“Padahal aku mengharapkan kau sengaja melupakannya.”
“Jangan becanda lagi. Besok akan aku ambil.”
“Memang kau ingin bertemu denganku lagi?”
“Yeah, terpaksa.”
“Oh begitu. Hei, apakah aku boleh bertanya sesuatu?”
“Silahkan.”
“Sebenarnya untuk apa kau ke Seoul? Apa kau ingin bekerja di perusahaan ayahmu? Aku hanya ingin tahu saja.”
“Apa kau tidak diberitahu oleh dongsaengmu?”
“Apa kau menyindirku?”
“Sedikit.”
“Hahaha, kau lucu sekali.”
“Aku ingin kuliah di Seoul dan setelah lulus aku bekerja di perusahaan ayahku.”
“Oh, begitu ya. Apa kegiatan kuliahmu sudah dimulai?”
“Besok aku mulai kuliah.”
“Emm…kau kuliah di universitas mana?”
“Untuk apa kau tahu?”
“Apa kau tidak ingin kopermu kembali?”
“Aku kuliah di Universitas Nasional Seoul.”
“Wow, hebat juga kau bisa masuk sana.”
“Aku tidak butuh komentarmu.”
“Oh, mian.” Kemudian terdengar kekehan.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Jeong Eun.
“Ah, anni. Aku sedang menonton diriku di TV. Ternyata aku tampan juga.”
Jeong Eun menatap layar TV-nya. Ada Chang Min yang sedang berada di suatu reality show. Ia mengenakan pakaian putih. Serba putih malah.
“Tertawamu aneh,” celetuk Jeong Eun.
“Mwo? Apa kau juga menyaksikannya?”
“Tidak sengaja.”
“Baguslah. Jangan dipindah sebelum acaranya selesai ya.”
“Untuk apa?”
“Kau akan rugi tidak menyaksikan pria setampan itu sampai akhir tayangan.”
“Cih, dasar laki-laki aneh.”
“Jam berapa aku harus mengembalikan kopermu besok?”
“Jam 1 kelasku selesai. Terserah kau mau datang jam berapa. Lebih cepat lebih bagus.”
“Ya, lebih bagus dan lebih cepat bertemu denganku kan?! Hahahaha.”
“Whatever…” Klik! Jeong Eun menutup telepon.
Matanya menatap layar TV. Menatap senyum itu. Tanpa ia sadari ia tertawa dengan tingkah laku lelaki itu. Dasar laki-laki aneh.
*
Ternyata kuliah di Seoul cukup memeras otak. Apalagi kampus Jeong Eun bukan kampus sembarangan. Seoul National University atau Universitas Nasional Seoul termasuk dalam universitas terbaik di Korea.
Keluar kelas, Jeong Eun memilih untuk berkeliling kampus. Belum ada yang menjadi temannya. Mungkin karena sifat angkuh masih ada di dalam diri Jeong Eun.
Sesekali ia memeriksa ponselnya. Mungkin dia sedikit gelisah gara-gara Chang Min belum menghubunginya. Namun ia mencoba menepisnya. Ia kembali menikmati pemandangan baru di kampusnya. Benar-benar berbeda dengan kampus-kampus di Indonesia. Begitu nyaman dan bersih.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari kejauhan. Didominasi suara perempuan. Karena sangat memekik di telinga. Melihat gerolombolan perempuan sedang menyerbu sesuatu jauh di hadapannya, Jeong Eun memilih menghindar. Ia paling tidak suka dengan keramaian.
Sampai di suatu tempat, terdapat sebuah bangku di belakang tanaman yang begitu rimbun. Jeong Eun memutuskan untuk duduk di sana. Baru saja beberapa menit di sana, tiba-tiba ada yang bergerak heboh mendekatinya. Beriringan dengan suara riuh geromboloan perempuan.
Jeong Eun menatap punggung laki-laki yang sedang mengatur nafasnya itu. Setelah suara riuh itu pergi menjauh, laki-laki itu terduduk pasrah.
“Shim Chang Min?”
Laki-laki itu terperanjat saat ada yang memanggil namanya. Namun saat melihat siapa yang memanggilnya, ia langsung berdiri dan duduk di sampingnya.
“Akhirnya bertemu denganmu,” ucap Chang Min sambil melepas kaca mata hitamnya kemudian tersenyum.
“Kenapa perempuan-perempuan itu mengejarmu? Kau ada masalah dengan mereka?”
“Aigoo. Ya, Jeong Eun-a, mereka itu fans-fansku. Padahal aku sudah mengenakan kaca mata agar tak dikenali.”
“Memangnya fans harus mengejarmu seperti itu ya?”
Chang Min tertawa mendengar ucapan Jeong Eun.
“Apa kau tidak memiliki idola sehingga kau begitu tidak mengertinya?”
“Aku hanya mengidolakan ibuku. Dan ibuku sudah tidak ada.”
Chang Min berdeham.
“Mianhae, Jeong Eun-a.”
“Untuk apa kau minta maaf? Sekarang mana koperku?”
“Kopernya ada di mobilku. Repot kalau harus aku bawa masuk.”
“Baiklah, mari kita ambil sekarang,” ucap Jeong Eun sambil berdiri.
“Ya, apa kau tega terhadapku? Aku baru saja beristirahat dari kejaran fans-fansku.”
“Itu urusanmu. Salah sendiri kenapa jadi artis.”
“Ya, tunggulah beberapa menit lagi. Aku capek sekali. Apa kau ada air minum?”
Jeong Eun mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tasnya.
“Ah, kau baik sekali.”
Glek. Glek. Glek. Tenggorokan Chang Min bergerak hebat saat menegak air. Keringat menetes di leher dan keningnya.
Jeong Eun menatapnya tanpa kedip. Ia juga tidak tidak tahu kenapa tiba-tiba jantungnya berdegub kencang. Chang Min mendapati hal itu dari sudut matanya.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Chang Min dengan bibir yang basah kemudian dilapnya dengan punggung tangan.
“Ah…anni. Kau…menjijikan.”
“Benarkah? Mungkin lebih tepatnya adalah seksi. Benar kan?”
Jeong Eun mendengus.
“Ya, kenapa dengan wajahmu? Apakah gara-gara kejaran gerombolan perempuan tadi membuat wajahmu biru seperti itu?” tanya Jeong Eun mengalihkan pembicaraan.
“Ah, annio. Ini gara-gara dipukul oleh calon tunanganmu.”
“Mwo? Calon tunangan? Maksudmu?”
“Seong Ho. Dia calon tunanganmu kan?”
“Dia memukulmu? Karena…aku?”
“Aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin dia kesal denganku yang selalu dekat denganmu.”
“Cih, memangnya dia pikir dia siapa?” gumam Jeong Eun.
“Apa kau tidak suka dengan Seong Ho dongsaeng?”
Mereka bertatapan.
“Aku hanya tidak ingin ada perjodohan. Itu saja.”
“Oke. Jadi aku masih mempunya peluang kan?”
“Kau mau biru diwajahmu menjadi hitam, eoh? Menyebalkan!”
Chang Min terkekeh.
“Ya, apa kau mau pulang denganku? Kau tidak mungkin membawa mobil ke kampus kan?” tanya Chang Min sambil menyerahkan kembali botol minuman Jeong Eun.
“Aku dijemput oleh supirku. Jadi kau tidak perlu mengantarku.”
“Oh, begitu? Baiklah, ayo kita ke parkiran,” ucap Chang Min sambil mengenakan kacamatanya lagi.
“Untuk apa? Sudah aku bilang aku dijemput supirku.”
“Apa kau lupa kopermu, eoh?”
“O, keure,” sahut Jeong Eun salah tingkah.
“Kau ini lucu sekali,” ucap Chang Min sambil mengacak rambut Jeong Eun.
Jeong Eun tertegun sejenak. Kemudian menjauhkan diri sambil merapikan rambutnya. Mereka berdua berjalan berdampingan menuju parkiran. Baru separuh perjalanan, tiba-tiba ada yang memekikkan nama Chang Min.
Chang Min dan Jeong Eun bertatapan. Saat keduanya melihat gerombolan perempuan yang mendekat, tangan Chang Min meraih tangan Jeong Eun dan menggenggamnya kuat.
“Lari!”
Oke, cukup sekian dulu. nanti disambung lagi. terimakasih sudah membaca. kalo bisa kasih komen juga ya. gomawoooo :D
Sekuat tenaga keduanya berlari dari kejaran para perempuan dengan jeritan yang memekik telinga. Karena bingung harus kemana, mereka terus berlari tanpa arah.
“Ya, apakah kita tidak berhenti sejenak? Aku lelah sekali,” ucap Jeong Eun dengan lari yang tak sekencang tadi.
“Ah tidak bisa berhenti. Mereka masih terus mengejar kita.”
“Ya, apakah kita tidak berhenti sejenak? Aku lelah sekali,” ucap Jeong Eun dengan lari yang tak sekencang tadi.
“Ah tidak bisa berhenti. Mereka masih terus mengejar kita.”
Jeong Eun menahan tangan Chang Min yang menggenggamnya. Keduanya pun berhenti. Jeong Eun tertunduk. Napasnya tersenggal-senggal. Ia mencoba mengatur napas.
Tiba-tiba ia melihat Chang Min berjongkok membelakanginya.
“Cepat naik. Kita tidak punya banyak waktu.”
“Tapi…”
Chang Min menarik tangan Jeong Eun dan menyuruhnya naik ke punggungnya. Akhirnya gadis itupun menurut. Keduanya pun kembali berlari. Ah tidak, Chang Min saja yang berlari.
“Kenapa kita tidak ke parkiran saja? Di mana kau memarkirkan mobilmu?” tanya Jeong Eun.
“Ah, kau benar! Kenapa tidak terpikirkan olehku? Kau pintar!”
“Cih! Kau saja yang terlalu panik.”
Di punggung Chang Min, Jeong Eun mendadak memperhatikan laki-laki itu. Terdengar jelas napas Chang Min yang tersenggal saat berlari. Aroma parfumnya yang begitu lembut padahal ia begitu berkeringat.
Namun, saat ia sadar orang-orang yang berada di sekitar menatap mereka, Jeong Eun meminta untuk diturunkan.
“Ah kau ini, parkiran sudah terlihat. Nanti saja turunnya,” ucap Chang Min sambil terus berlari.
Akhirnya Jeong Eun memutuskan untuk membekap wajahnya di punggung Chang Min. Ia sangat malu.
“Hei, kau sedang apa? Cepat lepaskan tanganmu dan masuk ke dalam mobil,” ucap Chang Min beberapa saat kemudian.
Buru-buru Jeong Eun turun dari punggung Chang Min dan masuk ke dalam mobil. Setelah Chang Min duduk di kursi kemudi, mereka pun meninggalkan kampus SNU.
“Haaaaaaah, leganya bisa terbebas dari kejaran para wanita itu,” celetuk Chang Min.
Jeong Eun hanya diam menatap kaca jendela di sampingnya. Menyadari itu, Chang Min menoleh ke arahnya.
“Ya, apa kau sangat lelah? Wajahmu sampai merah begitu?”
Jeong Eun memegang kedua pipinya.
“Aku memang sangat lelah. Tapi wajahku tidak merah.”
“Aaaah, aku tau. Kau sangat tegang bukan saat aku gendong tadi?” tanya Chang Min dengan cengiran.
“Mwo? Anni. Aku tidak tegang. Untuk apa aku harus tegang?”
“Lalu kenapa jantungmu berdegub kencang tadi dan sekarang pipimu merah?”
“Ah, annio. Itu hanya perasaanmu saja,” sahut Jeong Eun kembali ke kaca jendela.
Chang Min meminggirkan mobil. Jeong Eun menatapnya dengan bingung.
“Kau pasti haus sekali. Mari kita minum dulu,” ucap Chang Min seolah menjawab pertanyaan tatapan Jeong Eun.
Keduanya keluar dan pergi ke lemari mesin minuman. Setelah itu mencari tempat duduk untuk bersantai sejenak. Sambil menegak minuman, Chang Min memperhatikan Jeong Eun yang juga sedang menegak minumannya.
“Jangan menatapku seperti itu,” ucap Jeong Eun tanpa melihat Chang Min.
“Siapa yang menatapmu?” sahut Chang Min gelagapan.
“Apakah kau selalu dikejar seperti tadi setiap kau berpergian?”
“Kalau di tempat umum memang seperti itu. Karena tidak ada penjaga, mereka begitu menakutkan.”
“Apa kau selalu berlari setiap ada fansmu?”
“Seharusnya tidak. Sebagai artis, aku mungkin akan dianggap sombong kalau terus berlari. Tapi untuk kali ini, aku memang harus lari dari mereka.”
Jeong Eun menoleh.
“Wae?”
“Aku kan hanya ingin bertemu denganmu. Bukan dengan mereka.”
“Pandai sekali kau dalam berbicara. Aku sampai terkagum-kagum,” sahut Jeong Eun kemudian mendengus sinis.
Chang Min terkekeh. Tiba-tiba ponselnya berdering.
“Yeoboseyo.”
Chang Min terdiam kemudian menatap Jeong Eun.
“Oh, arraseo.”
Chang Min memasukkan ponsel ke dalam saku dan berdiri.
“Aku harus mengantarmu sekarang,” ucapnya.
“Wae?”
“Kenapa kau bilang? Apakah kau masih ingin bersamaku?”
“Ah, annio,” sahut Jeong Eun kemudian beranjak masuk ke dalam mobil.
Chang Min terkekeh melihat tingkah Jeong Eun.
“Kenapa kau masih berdiri di situ? Ayo cepat antar aku pulang,” ucap Jeong Eun.
“O, keure.”
*
Setelah memarkirkan mobil, Chang Min keluar dan membuka bagasi. Ia mengeluarkan sebuah koper berwarna putih. Tiba-tiba tangan lain langsung menariknya tanpa permisi. Keduanya bertatapan.“Gomapta,” ucap Jeong Eun kemudian membalikkan badan.
“Jeong Eun-a.”
Jeong Eun memiringkan badan dan menatap Chang Min.
“Waeyo?”
“Apa kau masih ingin bertemu denganku di lain waktu?”
“Apa maksudmu? Bukankah kita sudah tidak ada urusan?”
“Bagaimana kalau aku masih ingin?”
“Terserah kau saja. Aku tidak peduli,” sahut Jeong Eun kemudian kembali melangkah.
Tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia melihat seseorang di depannya.
***
Oke, cukup sekian dulu. nanti disambung lagi. terimakasih sudah membaca. kalo bisa kasih komen juga ya. gomawoooo :D
0 komentar:
Posting Komentar