I love him but I can't show it,
want him but he can't know it,
need him but I know it’ll never be,
if only he needed me.
Malam itu Kota Jogja begitu dingin. Angin berhembus menerpa pelan tubuh kurus itu. Dirapatkannya jaket cokelat yang ia kenakan. Lampu hijau menyala, motor matic cokelat itu pun segera melaju ke Lapangan Gor Universitas Negeri Yogyakarta.
“Akhirnya lo datang juga. Lama banget?” ucap seorang gadis bernama Wina.
“Sori. Tadi mesti nunggu adek gue tidur dulu. Biasalah,” sahut gadis kurus itu dengan cengiran.
“Hai, Myr.”
“Hai, Ar.”
“Nunggu adek lo tidur lagi?” tanya seorang anak laki-laki dengan kaus buntung hitamnya.
“Absolutely.”
“Oke temen-temen semua kita pemanasan dulu yuk!”
Seorang anak laki-laki bernama Doni memimpin latihan malam itu. Sementara teman-temannya mengikuti aba-aba. Rasa dingin yang ada tak lagi dirasa mereka yang bermandikan keringat. Bola orange itu dipantulkan, di-drible, dioper, hingga dimasukkan ke dalam ring dengan cara yang tak biasa.
“Oke, kita tos dulu buat tim kita,” ucap Doni sambil mengulurkan tangannya. Semua teman-temannya berkumpul membuat lingkaran yang tak beraturan, untuk menyatukan tangan mereka.
“Ballstars Jogja… Yeah!”
«««
Beberapa anak masih berada di sekitar lapangan sembari merapikan barang-barangnya.
“Langsung pada pulang nih?” tanya seorang anak laki-laki bernama Arion.
“Sebenenya males sih pulang jam segini,” sahut Wina.
“Makan atau nongkrong dulu yuk.”
“Pake beginian? Mana keringetan, lagi,” ucap gadis kurus itu sambil mengibaskan kausnya.
“Lo keringetan masih wangi kok, Myr. Tenang aja,” celetuk Arion dengan senyum penggodanya.
“Tetep aja nggak enak.”
“Lo bisa ganti pake kaos gue kalo lo mau. Gue bawa dua tuh.”
“Sedia payung sebelum hujan ceritanya,” celetuk Doni sambil menyenggol lengan Myr.
Myr menghela napas kemudian berkata, “Baiklah.”
«««
“Bapak, Ibu, Myr berangkat dulu. Hari ini ada kuliah pagi. Assalamualaikum.”
“Dendy juga. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sahut sepasang suami istri itu dengan kesibukan masing-masing.
“Kopinya, Pak,” ucap Ibu sambil meletakkan secangkir cairan hitam di depan Bapak.
Bapak menutup Koran dan meletakkannya di atas meja sembari mengucapkan terima kasih pada Ibu.
“Mbak, tadi malam kabur lagi ya?” ucap anak laki-laki dengan seragam merah putih yang duduk di belakang Myr.
“Kabur apa sih, Den?”
“Mbak main basket kan pas aku tidur.”
“Yaiyalah,” sahut Myr pelan.
“Tuh kan.”
“Dendy, kamu itu udah kelas 3 SD. Masa maunya tidur ditemenin mbak terus sih?”
“Aku kan sayang Mbak Myr,” ucap Dendy sambil mengeratkan pelukannya dari belakang.
“Kalo kamu sayang sama Mbak, kamu mulai hari ini tidur sendirian ya! Kan katanya kamu udah gede. Nggak malu sama temen-temenmu kalo masih tidur sama mbak?”
“Insya Allah deh,” sahut Dendy enggan.
“Pake Insya Allah segala. Bilang iya, kalo nggak Mbak Myr nggak bakal traktir kamu makan burger lagi.”
“Iya deh iya. Aku tidur sendirian mulai hari ini.”
“Gitu dong. Itu baru Dendy adek kesayangan Mbak Myr.”
Senyum polos dari anak berumur 9 tahun mengembang dari wajahnya. Begitu pula dengan Myr. Ia lega akhirnya ia bisa tepat waktu untuk latihan streetball bersama teman-temannya.
«««
“Rion!”
“Hey, Cha!”
“Masih pengen sama temen-temen lo?” tanya Icha sambil menatap satu persatu beberapa orang yang berada di sekitar Arion.
“Emh, kenapa? Mau berduaan sama gue?”
“Heeh,” sahut Icha dengan anggukan manja.
“Oke. Temen-temen, gue duluan ya.”
“Tapi…tugas kita…?” protes Doni.
Myr menahan Doni untuk tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Thanks Myr. Oke semuanya. Bye!”
Arion merangkul Icha dan keduanya pun menjauh dari tempat itu.
“Ini tuh nggak bisa dibiarin, Myr. Rion tuh kebiasaan deh. Dia selalu pergi waktu kita ngurusin tugas kuliah. Ntar dia balik dengan keadaan mabuk dan akhirnya kita yang ngerjain tugas dia.”
“Dia belum kena batunya aja,” ucap Myr pendek.
“Ah dia mah kayaknya beruntung terus. Cewek aja seminggu sekali ganti. Emang beruntung banget dia. Tampang keren, badan oke banget. Basket oke punya. Tajir. Lengkap,” ungkap Wina sambil geleng-geleng.
“Lo mau sama dia, ha?” tanya Doni.
“Yah kalo dianya mau sama gue sih, why not? Ya nggak, Myr?”
Myr hanya mengangkat pundak.
«««
Myr, Wina, Doni, dan Arion adalah empat sahabat yang selalu bersama. Bertemu di kelas yang sama, memiliki hobi yang sama pula. Meskipun sifat keempatnya berbeda satu sama lain. Myr dengan ketenangannya, Wina dengan glamor tapi low profilenya, Doni dengan blak-blakkan dan jenakanya, dan Arion dengan sifat playboynya. Semuanya berasal dari keluarga yang kaya raya, kecuali Myr. Keadaan keluarga Myr masih terbilang menengah ke atas. Tidak perlu mewah, yang penting tidak kekurangan. Itu prinsip keluarganya.
Dini hari, Myr yang suka rela mengantarkan tugas yang telah dikerjakan untuk diberikan kepada Arion. Kini ia berada di depan apartemen temannya itu. Sudah kesekian kalinya ia tekan bel, namun belum juga dibukakan pintu. Saat Myr berniat pulang, pintu terbuka. Sesosok laki-laki dengan mata berat dan badan sempoyongan muncul di balik pintu. Ia masih mengenakan pakaian tadi, hanya saja semua kancing kemejanya terbuka. Memamerkan otot perutnya.
“Hai, Myr.”
Myr diam sejenak menatap wajah laki-laki itu.
“Lo mabuk lagi, Ar? Kali ini apa lo tidur sama cewek itu?”
“Siapa? Icha? Dia udah pulang kok.”
Myr menghela napas. Ia meraih tangan Arion dan menyerahkan tugas makalah untuk dikumpulkan besok.
“Lo tidur aja sekarang. Gue pulang dulu.”
Saat Myr baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendengar suara tubuh yang terjatuh. Ia menengok ke belakang, dan kembali. Myr membantu Arion bangun. Sekuat tenaga ia menahan tubuh tinggi itu agar tidak jatuh dan membawanya ke kamar.
Bedcover merah itu ditariknya hingga menutupi dada Arion. Laki-laki itu bergumam tidak jelas. Hanya ucapan terima kasih yang dapat Myr dengar.
“Kapan lo berubah, Ar?” tanya Myr dalam hati.
«««
“Hai semuanya,” sapa Arion siang itu.
“Hai, Rion,” sahut Wina.
Doni diam saja. Sementara Myr hanya tersenyum.
“Lo marah sama gue, Don?” tanya Arion sambil duduk di depan Doni.
“Auk ah gelap,” sahut Doni ketus.
“Ciyeee Doni marah. Santai aja, Man. Tadi malam Icha udah gue putusin kok. Jadi kita bisa ngumpul pol-polan, Sob!”
“Hah? Icha yang baru dua hari lalu lo pacarin sekarang udah lo putusin?” tanya Wina dengan tampang syok.
“Tepatnya malam tadi,” timpal Arion enteng.
“Lo kebangetan, Yon. Emang lo nggak pake cinta apa pacaran sama Icha dan mantan-mantan lo itu?”
“Yaelah, cinta lo omongin sama dia. Kaya ngomongin kenapa kuda nggak makan ikan. Nggak penting, tau,” ungkap Myr.
Tubuh Myr bergerak untuk mengindar sesuatu.
“Apaan sih cubit-cubit?” protes gadis itu.
“Idih, Myr sekarang ikut-ikutan sensi sama gue. Pake bawa-bawa kuda sama ikan, lagi. Sempet-sempetnya mikir ke situ,” ucap Arion dengan kekehan.
“That’s smart, you know?”
“Eh, gue nggak bawa mobil nih. Tadi pagi barusan gue masukin bengkel. Pulang kuliah gue nebeng ya,” ucap Arion lagi.
“Lo nanya siapa?” tanya Wina.
“Ya siapa aja yang bisa.”
“Nggak bisa!” ucap Doni cepat.
“Sori, gue juga nggak bisa tuh, Yon. Nyokap gue minta diajakin ke salon,” ucap Wina dengan wajah memelas.
Arion menatap Myr yang tampak acuh. Gadis itu sedang khusyuk membaca buku diktat. Perhatian Myr pun beralih saat Arion mengambil buku yang sedang dibacanya.
“Apa sih ganggu aja?”
“Gue ikut lo pulang ya.”
“Wani piro?”
“Lama-lama gue cium juga lo.”
“Males.”
Arion terkekeh. Saat dosen masuk kelas, semua perhatian tertuju ke depan. Lain halnya dengan Myr. Ia belum siap fokus karena jantungnya masih belum berdetak dengan normal.
«««
“Motor lo pendek banget, Myr?”
“Lo-nya aja ketinggian. Gigantisme.”
“Tapi lo suka kan?”
“Males banget.”
Arion terkekeh. Ia pun mulai menjalankan motor matic itu. Myr menatap punggung laki-laki di depannya dalam diam.
“Ar…”
“Iya?”
“Nggak papa.” Myr mengurungkan niatnya.
“Mau bilang apa?”
“Kapan lo berubah?”
“Lo pengen gue jadi power ranger atau spiderman?” tanya Arion dengan kekehan.
“Lupain aja.” Myr malas menanggapi.
«««
Seusai makan malam, Myr ingin membaca kembali buku yang tadi sore ia baca. Namun setelah membongkar tas, ia tak menemukan buku itu. Ia menyapu pandangan ke sekeliling kamar dan teringat sesuatu. Lantas ia meraih jaket dan kunci motor. Buku diktat itu ada dengan Arion.
Myr menatap pintu kamar Arion sambil mengatur napas. Saat ia ingin menekan bel, tiba-tiba pintu terbuka. Myr bertatapan dengan seorang gadis cantik. Tanpa berkata apa-apa gadis cantik itu pun berlalu.
“Hai, Myr. Ada apa?” sapa Arion dengan mata agak sayu.
Myr menatap gelas yang Arion pegang. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan emosi.
“Gue mau ngambil buku diktat yang lo rebut tadi sore,” ucap Myr sambil masuk ke dalam kamar dan menatap meja dengan beberapa botol Whiskey di atasnya.
“Oooh, buku itu. Bentar ya,” Arion melangkah dengan sedikit sempoyongan menuju kamar tidurnya.
Saat kembali dengan buku di tangan, Arion mendapati Myr yang sedang meneguk sebotol Whiskey miliknya. Mendadak buku itu dibantingnya. Ia rebut botol itu dari tangan Myr.
“Lo udah gila ya? Ngapain lo minum minuman kayak gini, hah?” bentak Arion.
“Ternyata…Whiskey enak juga ya, Ar? Sini balikin, gue mau minum lagi,” sahut Myr sembari ingin mengambil kembali botol yang tadi dipegangnya.
“Nggak! Lo nggak boleh minum lagi, Myr!”
Myr menatap Arion dengan mata sayu dan cengiran.
“Kenapa? Toh lo juga minum kan? Ya nggak papa dong. Ya kan?”
“Myr!”
“Apa, Ar? Apa? Kenapa gue minum lo larang-larang? Padahal, lo minum gue nggak marah dan nggak ngelarang! Ditambah lagi lo main sama cewek! Gue nggak ngelarang, Ar! Gue biarin!”
Arion terdiam dengan tangan bergetar. Mulai terdengar suara isakan Myr.
“Gue udah muak sama kelakuan lo, Ar. Gue…nggak suka lo kayak gini terus. Gue mau habisin semua minuman ini biar lo nggak minum lagi! Gue…”
Prang! Myr tak melanjutkan kalimatnya. Suasana hening seketika setelah terdengar suara botol yang pecah. Myr menatap pecahan botol itu kemudian memandangi Arion yang berwajah penuh amarah. Ia pun berbalik badan dan segera pergi. Tinggalah Arion yang menyesali perbuatannya.
«««
Sepekan berlalu. Arion tidak pernah tampak di kampus maupun di tempat latihan. Dia seperti menghilang di telan bumi sejak kejadian malam itu. Rasa kehilangan tentu dirasakan oleh ketiga teman baiknya. Ketika mencoba menghubungi, ponselnya tidak pernah aktif. Rasa cemas mulai memuncak ketika beberapa kali mereka mendatangi apartemen Arion, namun tidak membuahkan hasil.
“Kayaknya dia tersinggung banget deh sama semua yang gue omongin,” ungkap Myr di hadapan kedua temannya.
“Enggak, Myr. Lo udah ngelakuin hal yang paling bener kok. Tinggal dianya aja menanggapinya dengan dewasa apa enggak,” sahut Doni.
“Iya, Myr. Teman yang baik itu mana ada sih yang ngebiarin temennya terus-terusan di dunia gelap kayak gitu. Nggak ada bagus-bagusnya.”
Myr hanya menganggukkan kepala.
«««
Myr melintasi apartemen Arion seolah-olah tidak apa-apa. Topi jaket dikenakan untuk menyamarkan wajahnya. Beberapa kali ia lakukan hal itu. Tapi sepertinya apartemen Arion tidak menujukkan adanya kehidupan.
Keesokkan harinya, ia ulangi kegiatannya tersebut. Namun, tetap saja nihil. Hingga hari kelima, akhirnya Myr memutuskan untuk menyerah. Ia pun pulang dengan sia-sia.
Motor cokelatnya memasuki garasi. Setelah melepas helm dan meletakkan di atas motor, ia pun segera masuk ke dalam rumah sembari mengucapkan salam.
Salam itu terjawab dengan dua suara. Myr terpaku di tempat. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang.
“Ngapain mbak? Bengong aja?” celetuk Dendy yang sedang berada di punggung seseorang.
“Hai, Myr,” sapa Arion ringan.
«««
Teras rumah terasa begitu hening meskipun ada dua manusia di sana. Mereka hanya duduk berdampingan tanpa bicara.
“Lo…kemana aja selama ini?” tanya Myr memecahkan keheningan.
“Gue pulang ke Bogor.”
“Oh.”
“Lo nyariin gue?”
“Hah? Enggak, biasa aja.”
“Tapi kata satpam apartemen, lo berhari-hari mantengin di depan kamar gue tuh.”
Keduanya saling melirik. Namun Myr segera mengalihkan pandangan.
“Maafin gue ya, Myr. Malam itu gue udah…”
“Nggak papa,” potong Myr cepat. Ia tidak ingin ada yang mendengar tentang insiden malam itu.
“Makasih juga buat kata-kata lo. Mujarab banget.”
“Kata-kata…yang mana?”
“Entah kenapa, waktu lo bilang udah muak sama kelakuan gue, gue pengen berubah, Myr.”
“Emang sekarang lo udah nggak minum lagi? Nggak mainin cewek lagi?”
“Insya Allah sih nggak. Jagain gue ya. Ingetin gue terus.”
“Emang gue baby sitter lo apa?”
“Emang bukan baby sitter gue sih, tapi kalo sebagai teman kan sunnah.”
Jleb! Serasa ada sebilah pisau menusuk jantung Myr saat mendengar kalimat itu.
Teman? Oh iya, memang hanya teman. batin Myr.
“Apalagi kalo lebih dari itu, jadinya wajib deh,” lanjut Arion.
Ia menoleh ke arah Myr sambil tersenyum.
“Gue nggak nafsu sama playboy,” sahut Myr.
“Tapi suka kan sama cowok bernama Arion?”
“Lo ngomong apaan sih?”
“Lo nggak nanya kenapa malam itu gue bentak lo?”
“Kenapa?”
“Karena gue sayang sama lo, Myr. Gue nggak mau lo rusak kayak gue. Dan…gue sadar, lo yang terbaik dari semua cewek yang pernah gue kenal. Lo perhatian. Lo paling ngerti gue. Jadi pacar gue ya, Myr.”
“Sebentar.” Myr memperhatikan mata Arion, mata sang playboy. Pupil playboy itu membesar, membuat Myr tersenyum dalam hati.
“Ya ampun, Myr, ternyata lo manis juga ya kalo dari jarak sedekat ini.”
Tangan Myr memukul pelan lengan Arion.
“Lo tuh bikin gue cemas berabad-abad tau nggak sih? Ngilang gitu aja nggak ada kabar. Terkhir ketemu dengan keadaan kayak gitu pula. Nyesek, tau.”
Arion merangkul Myr.
“Maafin gue ya kalo udah bikin lo cemas.”
Myr hanya mengangguk pelan. Keduanya bertatapan dengan senyum mengembang.
“Ciyeeeeeeeee Mbak Myr sama Mas Rion pelukan. Aku bilangin sama Ibu Bapak lho!” ucap Dendy yang tau-tau nongol di hadapan keduanya.
Myr menghela napas.
“Bilangin aja. Mas Rion udah ijin kok sama Bapak Ibu. Wek!” sahut Arion sambil terkekeh.
“Lo udah bilang sama Bapak sama Ibu?”
Arion mengangguk sambil tersenyum Myr hanya tertawa.
“Huaaaa aku juga mau dipeluk,” ucap Dendy sambil merengut dan bersidekap.
“Iiiiih iri juga ternyata. Sini.”
Dendy tersenyum lebar dan langsung duduk di tengah.
“Jadi, kapan resepsinya?” tanya Dendy sambil menikmati kehangatan.
“Ngomong apaan sih ni kurcaci?” Myr menjitak pelan kepala adiknya.
“Biarin ajalah, anggep aja doa,” sahut Arion dengan cengiran.
Myr tak menjawab. Ia hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum. Ia bahagia. Betul-betul bahagia.
“Eh liat deh bintang di atas sana, mana yang menurut lo paling terang?” tanya Arion sambil menunjuk ke arah langit.
“Nggak usah sok romatis gitu deh, Ar. Geli gue.”
“Ya nggak papa, lagi. Lo nggak pernah diromantisin sih. Makanya geli.”
Arion dan Dendy saling bertatapan sambil terkekeh.
“Berisik!”
Tawa keduanya sudah tak terdengar. Keadaan kembali hening. Cukup lama. Hingga terdengar dengkuran halus Dendy yang tertidur.
“Buat gue, lo bintang paling terang dan paling indah, Ar.”
Arion menoleh. Myr ikut menoleh kemudian tersenyum.
“Nggak usah sok romantis deh, Myr.”
“Arion!”
Arion terkekeh.
“Myr, tau nggak, gue suka lo panggil Ar. Beda sama yang lain, manggil gue Rion.”
“Sok romantis lagi?”
“Cuma sama Myr-ku kok.”
Mau tidak mau, Myr tersenyum.
But now,
I love him, and I can show it.
Because, the star fall… in love with me.
the end.
Don't right click copy paste, please :)
1 komentar:
Minal Aidzin wal Faidzin
Mohon maaf lahir batin
Posting Komentar