Perih, itu yang harus aku rasakan. Sejujurnya aku tak menginginkan rasa ini. Tapi perasaan dimana aku hanya ingin kau bersamaku, menjadi satu-satunya orang mencintaiku, terus menggerogoti relung seiring berjalannya waktu. Hingga akhirnya perih jua-lah yang kuraih.
Umurku tak remaja lagi. Di saat rekan-rekan tersenyum bersama pendamping, aku hanya dapat tersenyum pada mentari fajar, senja dan heningnya malam.
Kuhembuskan napas dengan berat. Berupaya agar perih yang kurasa dapat berkurang disetiap molekul gasnya. Namun nampaknya hanya imajinasiku.
Kududuk di antara karang yang dihantam ombak. Ditemani angin laut dan kicauan burung-burung yang hendak kembali ke rumahnya. Suasana yang menciptakan aku bebas untuk menjatuhkan air mataku sebanyak yang aku inginkan.
Kutatap mentari yang tenggelam perlahan dengan air mata yang mengering di pipi. Aku berdoa dalam hati, keesokan pagi aku diizinkan melihat mentari yang kembali timbul di ufuk timur. Itu saja cukup.
«««
Namaku Abigael. Biasanya aku dipanggil Abi. Aku mengenal seorang pria sejak duduk di bangku SMA. Siapa yang menyangka kalau kehidupanku akan bersekitaran dengan hidupnya. Hingga kami berdua pun berada dalam gedung perkantoran yang sama.
Jujur saja, aku menyukainya selama aku mengenalnya. Namun karena aku bukan tipe wanita yang bisa mengungkapkan perasaan pada pria yang aku suka. Aku juga bukan termasuk tipe wanita yang pemalu dan penutup diri. Temanku banyak, berbagai kalangan. Hanya dalan urusan perasaan, aku tak cukup berani.
Pria itu bernama Kim Chang Min. Dari namanya, kita sudah dapat membayangkan seperti apa orangnya. Dia berasal dari Seoul, Korea Selatan. Meskipun begitu, aksen bicaranya sudah seperti orang Indonesia pada umumnya. Entahlah, aku juga tak mengerti mengapa aku begitu menyukai pria bermata sipit ini. Chang Min – begitu dia dipanggil, sangat ramah dengan siapa saja. Aku tau itu.
Menjadi teman sejak SMA tentu membuatku merasa lebih dekat dengan Chang Min. Dia pun memperlakukanku berbeda diantara teman sekantor lainnya. Hal itu hanya menurutku atau tidak, aku tidak tau. Aku dan Chang Min yang digosipkan berpacaran hanya ditanggapi dengan tawa.
Suatu hari, ditengah menyantap makan siang bersama, pria itu membuatku tak mampu berkata apa-apa.
“Heh, Bi, kenapa lo belum juga punya cowok sih? Nunggu apa?” tanya Chang Min.
“Nunggu yang tepat,” sahutku sekenanya.
“Udah kayak wanita paling sempurna aja lo.”
“Ya nggak apa-apa dong. Lo sendiri? Kayak udah punya cewek aja.”
“Gue…nunggu yang pas. Selama ini belum ada yang sreg sih.”
“Udah kayak pria paling sempurna aja lo,” sahutku membalas ucapannya.
Chang Min terkekeh.
“Lucu kali ya, kalo kita berdua pacaran.”
Chang Min tertawa sambil menerawang. Aku hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis. Seandainya aku bisa ungkapkan perasaanku sebenarnya.
«««
Siang itu aku terdiam menatap sebuah kertas yang Chang Min berikan kepadaku.
“Reuni SMA?” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Iya. Reuni SMA. Seneng banget ya, akhirnya SMA kita ngadain acara beginian,” sahut Chang Min antusias.
Berbeda halnya denganku, aku kembali melipat kertas itu dan mengembalikannya pada Chang Min. Pria itu menatapku dengan bingung.
“Kenapa sih lo kayak nggak seneng gitu?” tanyanya.
“Bukannya gue nggak seneng. Tapi…kenapa harus pake pasangan segala?”
Chang Min malah tertawa mendengar ucapanku.
“Oh jadi itu masalahnya. Karena lo belum punya pacar jadi lo males dateng gitu?”
“Yaaah, begitulah kira-kira,” sahutku sambil duduk di meja kerjaku.
“Gue juga belum ada pasangan sih. Kalo lo berminat, lo bisa daftar kok jadi pasangan gue.”
“Gue…sama lo?” tanyaku tak yakin.
“Gue sih nggak keberatan. Lagian, gue cuma pengen ketemu temen-temen lama. Why so serious?”
Aku terdiam. Sejujurnya, ucapan Chang Min berusan membuat dadaku sesak. Antara senang dan sedih. Senang karena dia mau berpasangan denganku, namun sedih karena dia tak menganggap hal tersebut merupakan hal yang harus dipikirkan dengan serius.
“Gimana? Mau nggak? Kalo nggak –.”
“Gue mau kok,” ucapku cepat.
Chang Min tersenyum. Akupun tersenyum.
“Oke, mau dijemput?”
“Boleh. Kalo nggak ngerepotin.”
“Biasanya juga ngerepotin lo. Ya udah, gue jemput jam 7 ya.”
Aku mengangguk.
«««
Pukul 7 tepat, kubuka pintu apartemenku. Aku dan pria itu saling bertatapan untuk beberapa saat. Jantungku berdetak tak beraturan. Seperti ada gemuruh yang tak tahu datang dari mana. Dia benar-benar tampan malam ini.
“Udah siap?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Kemudian Chang Min tersenyum.
“Ayo kita berangkat sekarang.”
Chang Min membalikkan badan. Sesak terasa. Tidak ada komentar mengenai apa yang aku kukenakan? Bagaimana penampilanku? Ya, kau selalu begitu, Chang Min.
Acara reuni malam itu diselenggarakan di sebuah gedung pertemuan, dimana dulu acara Prom Night SMA diadakan. Begitu mewah dan elegan. Para tamu undangan sudah mulai memenuhi ruangan.
“Ciyeeee…akhirnya jadi juga lo berdua,” ungkap Sendy, teman sekelasku dulu.
Aku menatap Chang Min yang tersenyum menanggapi ucapan Sendy.
Begitu banyak yang diceritakan mengenai kehidupan selepas SMA. Itulah reuni. Tidak semua teman sekelasku datang di acara tersebut. Namun karena acara reuni ini terdiri dari beberapa angkatan, acara tetap berjalan dengan meriah.
Seusai makan malam, pembawa acara mengumumkan acara selanjutnya. Pesta dansa. Tadinya aku pikir tidak ikut juga tidak apa-apa. Namun ternyata bersifat wajib bagi tamu yang sudah hadir.
“Gue nggak bisa, Chang Min.”
“Ini wajib, Bi. Yuk!” Chang Min menarik tanganku dan kami pun ke tengah-tengah tamu yang bersiap-siap untuk berdansa.
Chang Min meletakkan tangan kiriku di pundaknya sementara tangan kanan digenggamnya. Ditariknya pinggangku mendekat kepadanya. Aku berusaha untuk menyembunyikan kegugupanku. Kutatap wajahnya. Seperti biasa, tidak ada perubahan. Ya, mungkin ini hanya aku yang memiliki perasaan.
Tubuhku mulai terbiasa dengan gerakan-gerakan dansa. Aku juga sudah tidak mempedulikan perasaanku. Karena sejak awal sudah aku tanamkan bahwa ini hanya sebuah dansa biasa.
Namun itu berubah saat posisiku membelakangi Chang Min. Tangannya berada di atas tanganku. Tubuhku menempel dengan tubuhnya. Bisa kurasakan setiap hembusan nafasnya.
“Rambut lo wangi juga, Bi,” bisiknya tepat di telingaku.
Jantungku kembali berdetak tak karuan. Aku membalikkan badan dan menatapnya.
“Rambutmu, asetmu,” sahutku menirukan iklan vitamin rambut.
Kami berdua tertawa ringan. Entah sejak kapan Chang Min melakukannya. Aku baru menyadari kalau wajahnya semakin mendekat. Kutatap matanya yang tak menatap mataku hingga bibirnya menyentuh bibirku lembut.
Aku tidak tau harus apa. Aku juga tidak tau harus senang atau tidak. Kutatap bibir tipis itu kemudian menatap mata sipit itu. Dia pun menatapku tanpa berkedip.
“Sorry, Bi.”
Aku ingin menanyakan apa maksudnya menciumku. Namun lidahku kelu. Lantas, aku hanya diam saja.
«««
Aku menatap layar monitor. Sementara tanganku dengan lincah mengetikkan laporan yang harus kuserahkan pada pimpinanku. Harusnya aku pergi makan siang sekarang, tapi apa boleh buat. Aku harus menundanya.
Tiba-tiba aku merasa dunia sedang berputar dengan cepat. Membuat kepalaku pusing dan terasa berat. Kupijat pelan kepalaku agar rasa pusing itu berkurang. Kurasakan keringat dingin mendera. Kuputuskan untuk mengambil air pada dispenser yang tak jauh dari meja kerjaku. Aku berusaha berdiri dan menyeimbangkan tubuhku. Namun pandanganku tiba-tiba terasa kabur. Badanku limbung dan akupun tak sadarkan diri.
«««
Aku terbangun dengan tatapan khawatir dari rekan-rekan kerjaku. Mereka senang dengan kesadaranku. Tina memberiku segelas teh hangat. Mereka bilang aku mungkin kecapekan dan belum makan. Lantas aku mengikuti apa yang mereka suruh. Aku mulai menikmati makanan yang dibelikan untukku.
Rekan-rekan kerja kembali ke meja masing-masing saat pimpinan menghampiri. Aku teringat laporanku yang belum selesai. Lantas aku buru-buru ke meja kerjaku. Namun aku mendapat kejutan. Kerjaannku selesai. Bahkan sudah ditata rapi. Tepat saat pimpinan meminta, langsung saja kuserahkan laporan itu.
Setelah pimpinan pergi, aku menghampiri Tina.
“Lo yang ngerjain laporan gue, Na?” tanyaku.
“Bukan. Bukan gue,” sahut Tina sembari geleng-geleng kepala.
“Tadi Chang Min yang ngerjain. Dia juga yang nemuin lo tergeletak di lantai,” ucap Bagus dari meja kerjanya.
“Oh ya?”
“Oh pantes dia tadi langsung nyerahin lo ke gue, Bi, pas gue sama yang lain datang,” timpal Tina.
“Ooooh, gitu ya?”
“Ya wajarlah, sama pacar sendiri,” ucap Tina disambut senyum rekan-rekan yang lain.
“Apaan sih?! Anyway, thanks ya semuanya,” ucapku disambut anggukan mereka yang sudah menolongku tadi.
Aku kembali duduk di meja kerjaku dan menatap layar ponsel. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya. Dia yang sudah sangat baik padaku, sejak dulu. Ah, lebih baik tidak memberitahukannya. Aku ingin memberi kejutan untuknya.
«««
Setelah aku pastikan Chang Min berada di apartemennya pada hari ini, aku pun berniat untuk memasak untuknya. Hanya masakan yang ada dipikiranku sebagai hadiah karena dia sudah sering kali membantuku. Pagi-pagi sekali aku ke pasar untuk membeli semua keperluan. Semuanya terasa begitu menyenangkan untuk dikerjakan. Seusai masak, aku memutuskan untuk mandi. Agar tepat saat jam makan siang, aku bisa mengantarkannya pada Chang Min.
Aku berdandan sedikit. Berusaha berpenampilan santai tapi rapi. Setelah semuanya masuk ke dalam kotak makanan yang tersusun rapi, aku pun segera berangkat.
Aku menatap pintu kamar Chang Min. Memencet bel untuk beberapa kali. Aku bingung mengapa belum juga dibukakan. Saat kucoba untuk membuka gagang pintu, ternyata tidak dikunci. Tumben sekali. Aku pun langsung masuk sambil memanggil namanya.
Kutatap beberapa botol wine yang tergeletak di atas meja dengan dua gelas kosong. Perasaanku mulai tak nyaman. Kuletakkan kotak makanan di atas meja itu. Kusapu pandangan ke sekeliling untuk mencari pemilik ruangan ini.
Aku berjalan membuka kamar tidur dan kutemukan Chang Min masih terlelap. Dia tidur dengan telanjang dada. Aku mulai membangunkannya dengan menggerakkan lengannya. Ia bergumam tak jelas sembari merapatkan selimutnya.
“Hey, udah siang, tau. Masih tidur aja?” ucapku sambil mengacak rambutnya.
Matanya terbuka, lantas ia menegakkan badannya. Tampaknya ia syok dengan kehadiranku. Aku tersenyum melihat raut wajahnya.
“Ke…kenapa lo bisa di sini?” tanyanya gelagapan.
“Gue tadi mencet bel tapi nggak dibuka juga. Waktu gue pegang gagang pintu, eh nggak dikunci. Ya udah, gue masuk.”
“Mendingan lo keluar deh sekarang,” ucap Chang Min sambil bangun dan menggiring tubuhku.
“Gue –”
“Sayang, aku sudah selesai mandi loh.”
Aku terdiam mendengar suara berat itu. Dengan baju handuk, seseorang keluar dari kamar mandi. Kututup mulutku dengan telapak tangan. Aku tidak percaya dengan ini semua. Seorang pria dengan baju handuk berdiri di depan kamar mandi sambil menatapku. Sementara pria lain memegangiku dari belakang.
Perlahan aku membalikkan badan. Kutatap wajah tertunduk itu. Air mataku mulai mengalir. Matanya lalu menatapku. Tangannya tergerak menyentuh pipiku yang basah. Namun segera kujauhkan diri darinya.
“Kenapa ada pria di kamar lo? Kenapa dia panggil lo sayang? Kenapa, Chang Min?”
Pria bernama Kim Chang Min itu tak menjawab. Ia hanya menatapku dalam kebisuan.
Lantas kubalikkan badan lagi. Kutatap pria yang berbeda.
“Kalian…salah.”
Aku melangkah meninggalkan apartemen Chang Min dengan perasaan hancur. Pria yang kucintai, pria yang selama ini membantuku dalam segala hal, pria yang menurutku sangat baik, pria yang menurutku sempurna. Ternyata….seorang gay?
«««
Kududuk di antara karang yang dihantam ombak. Ditemani angin laut dan kicauan burung-burung yang hendak kembali ke rumahnya. Suasana yang menciptakan aku bebas untuk menjatuhkan air mataku sebanyak yang aku inginkan.
Ponselku berbunyi menandakan ada pesan masuk. Awalnya tak kupedulikan. Namun akhirnya kuraih ponselku dan mulai membaca pesan itu.
Maaf. gue pengen banget bisa mencintai lo, mencintai seorang wanita layaknya pria normal. Tapi gue tetap nggak bisa, Bi. Sampai gue nekat nyium lo waktu itu. Maaf, gue tau gimana perasaan lo. Maaf banget, Bi. Gue mau, tapi hati gue nggak bisa. Maaf, cuma itu yang bisa gue katakan sama lo. Berharap lo suatu saat ngerti.
Air mataku kembali mengalir dengan deras, perih. Semuanya…terasa salah.
Don't right click copy paste, please :)
Don't right click copy paste, please :)
0 komentar:
Posting Komentar