#Banpo Bridge
Jeong Eun duduk di pinggir ranjangnya. Menunduk. Dia tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengannya seminggu yang lalu. Mulai salah naik mobil hingga kopernya yang ditahan oleh laki-laki yang mengaku tampan dan terkenal itu.
“Aish!” Jeong Eun menghempaskan badannya di ranjang.
Padahal koper itu sangat penting baginya. Begitu banyak barang berharga di sana.
“Eomma, mianhae,” ucapnya lirih.
Setetes cairan bening keluar dari sudut matanya. Jeong Eun menutup matanya. Tak lama kemudian ia pun terlelap.
Di kamar yang berbeda, Chang Min yang baru saja selesai mandi menatap koper putih di hadapannya dengan penuh rasa penasaran. Tangannya terulur untuk membuka koper itu. Namun tangannya dipegangi oleh tangan lain. Mereka bertatapan.
“Jangan, hyung.”
“O, kau rupanya. Kenapa jangan?”
“Koper itu sangat berharga bagi Jeong Eun-ssi. Pasti dia tidak ingin orang lain mengetahui isi kopernya itu.”
“Ah dia kan tidak melihat aku membuka kopernya.”
“Hyung!”
“Ya, Seong-ho. Aku penasaran sekali!”
“Hyung!”
“Aish, baiklah!”
“Kapan hyung mengembalikan koper Jeong Eun?”
“Terserah padaku,” sahut Chang Min tampak sinis.
Yoo Seong-ho menatapnya dalam diam.
“Wae? Iya, aku tahu. Pasti aku kembalikan. Jadi kau tidak perlu menatap hyungmu ini seperti itu.”
“Aku hanya ingin Jeong Eun tidak terganggu.”
“Ya, Seong-ho, santai sajalah. Gadis itu tetap milikmu. Tenang saja. Aku hanya ingin bermain-main dengannya. Ingin tau bagaimana sifat aslinya. Kau lihat dia kemarin? Sombongnya luar biasa. Ckckck.”
“Hyung tidak akan membuka rahasia hubungan kita kan?”
“Untuk apa aku membeberkan rahasia itu?”
“Aku hanya memastikan. Baiklah, aku mau ke perusahaan sekarang,” ucap Seong-ho sambil berlalu.
“Kerja yang benar.”
Melihat Seong-ho sudah pergi, Chang Min membuka koper putih itu dan tertegun.
*
“Nona Lee, sudah waktunya makan malam. Tuan besar sudah menunggu di meja makan.”
Jeong Eun membuka pintu kamarnya.
“Arraseo,” ucap Jeong Eun sambil melewati pembantu yang bernama Jung dan menuju ruang makan.
“Ah, Jeong Eun-a kau sudah tiba.”
Lee Kun Hee memeluk anak semata wayangnya itu. Dengan wajah datar, Jeong Eun membalas pelukan ayahnya. Mereka baru saja bertemu pada hari ini. Itu disebabkan Ayah Jeong Eun harus pergi ke luar negeri untuk kunjungan bisnis.
“Bagaimana kabarmu? Sehatkah?”
“Ne,” sahut Jeong Eun pendek.
Lee Kun Hee menatap raut wajah anaknya yang tak berubah sejak ia pindah ke Korea.
“Mari kita makan,” ucap pria setengah baya itu.
Jeong Eun hanya diam dan menuruti apa kata ayahnya.
“Ah, Jeong Eun-a, apa kau sudah siap pergi ke kampus besok?”
“O, keure.”
“Mianhae, Jeong Eun-a. Jeongmal Mianhae (benar-benar minta maaf). Ayah tidak bermaksud untuk memisahkan kau dan ibumu. Dan juga ayah belum sempat menengok makam ibumu.”
“Gwaenchana, Appa. Aku sudah selesai makan. Aku ingin ke kamar. Sillyehamnida (permisi),” ucap Jeong Eun sambil menundukkan kepala dan berdiri.
“Apa kau tidak ingin melihat-lihat keadaan Seoul di malam hari? Bukankah dulu kau sangat senang?”
“Annio, Appa. Aku lelah.”
Menggeleng dan membalikkan badan.
“Chakkaman (tunggu). Kata Jung, kau datang tidak membawa tas. Waeyo?”
Jeong Eun bingung ingin menjawab apa.
“Aku membawanya. Hanya saja Jung mungkin tidak melihatnya.”
“O, keureo? Baiklah.”
Jeong Eun menundukkan kepala sejenak dan naik ke kamarnya. Baru saja menutup pintu kamar, ponselnya berdering..
“Yeoboseyo,” ucap Jeong Eun tanpa melihat siapa yang menghubungi.
“Ya, Jeong Eun-a.”
“Nuguseyo (siapa di san)?”
“Chang Min. Shim Chang Min.”
“O, kau rupanya. Ada apa?”
“Aku mau kau membayar hutangmu malam ini.”
“Mwo?”
“Wae? Kau tidak mau kopermu kembali padamu, eoh?”
“Ish.” Sejenak Jeong Eun berpikir. “Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?”
“Coffee Lab. Seokyo-dong.”
“O, baiklah. Tapi…”
Tanpa mendengar Jeong Eun selesai berbicara, Chang Min menutup teleponnya.
“Dasar laki-laki tidak tahu sopan santun,” gerutu Jeong Eun.
Diraihnya mantel putih di dekatnya, ia pun keluar kamar.
“Kau mau ke mana? Bukankah kau lelah?” tanya Ayah Jeong Eun saat melihat Jeong Eun melintas saat ia sedang berbincang dengan tamunya.
“O, aku harus bertemu seseorang.”
“Bagaimana kalau aku antar?” ucap tamu itu yang tak lain adalah Yoo Seong-ho.
Jeong Eun terdiam dan melirik ke arah ayahnya. Saat melihat anggukan kepala ayahnya, Jeong Eun hanya bisa ikut mengangguk.
“Kalau begitu aku pamit, sillyehamnida,” ucap Seong-ho sambil menundukkan kepala.
“Appa, aku berangkat.”
Lee Kun Hee menatap punggung keduanya dalam diam dan tak lama ia pun tersenyum.
*
“Kita akan ke mana?” tanya Seong-ho memecah keheningan.
“Coffee Lab. Seokyo-dong.”
“Mwo?”
Mendengar sahutan spontan Seong-ho, Jeong Eun menoleh.
“Waeyo?”
“Ah, anni.”
“Apakah itu sangat jauh?”
“Akan memakan waktu setengah jam lebih. Mungkin hampir 1 jam.”
“Jinja?”
“Keure. Memangnya kau ingin bertemu dengan siapa?”
“Apa kau ingat laki-laki yang menahan koperku?”
“Jadi kau ingin bertemu dia?”
“Ne.”
“O, algesseumnida (begitu).”
Hening.
Mulai beberapa hari yang lalu, Jeong Eun menyuruh Seong-ho untuk tidak memanggilnya secara formal. Ia pun bisa duduk berdampingan saat berada di mobil seperti sekarang ini. Sebenarnya itu karena suruhan ayah Jeong Eun yang menginginkan keduanya tampak akrab. Entah apa maksudnya, Jeong Eun tidak memusingkannya.
“Apa aku boleh menyalakan musik?” tanya Seong-ho sembari tersenyum tipis.
“Terserah kau saja,” sahut Jeong Eun acuh.
Ia menatap ke arah kaca di sampingnya. Menatap bangunan-bangunan dengan kerlap-kerlip lampu yang menawan.
Musik mengalun dari tape. Lagunya cukup indah di dengar. Suara penyanyinya pun mempunyai kekuatan dan suara yang khas. Begitu pikir Jeong Eun.
Entah kenapa Jeong Eun merasa begitu mengantuk. Mungkin perbedaan waktu di Indonesia dengan di Seoul. Ah, bukankah Seoul lebih cepat 2 jam dari waktu Jakarta? Intinya Jeong Eun mengantuk saat ini.
Seong-ho menoleh ke arah Jeong Eun saat kepala gadis itu tampak terantuk tanpa arah. Senyum tipis mengembang di wajah Seong-ho. Tanpa dikomando, ia memegangi kepala Jeong Eun yang hampir terantuk kaca.
Detik berikutnya, mata Jeong Eun terbuka. Lantas ia menoleh ke arah pemilik tangan yang memegangi kepalanya. Mereka bertatapan sejenak.
“Tangan,” ucap Jeong Eun singkat.
Seong-ho buru-buru menarik tangannya dan kembali konsentrasi mengemudi.
*
Mobil berhenti.
“Apa kita sudah sampai?”
“O. Apakah aku perlu menemanimu?”
“Tidak perlu. Biar aku saja.”
Jeong Eun membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam bangunan yang bertuliskan Coffee Lab. Di café itu, Jeong Eun disambut hiasan kumpulan kursi yang menggantung di plafonnya.
Jeong Eun menyapu pandangan. Saat menemukan laki-laki itu, ia pun menghampirinya.
“Oh kau sudah datang. Annyeong!” sapa Chang Min dengan penuh senyuman.
“Apa aku sudah bisa membawa pulang koperku?” tanya Jeong Eun to the point.
“Aigooo. Kau baru saja datang, duduklah dulu.”
Jeong Eun menurut.
“Bersama siapa kau ke sini? Taxi? Atau laki-laki kaku itu?”
“Tidak perlu tahu aku bersama siapa. Sekarang aku ingin koperku kembali.”
“Ya, Jeong Eun-a, apa kau tidak bisa santai sedikit saja? Kau harus bayar hutangmu dulu. Setelah lunas, kau boleh membawa kopermu pulang.”
“Cepat katakan apa yang kau inginkan.”
Chang Min terkekeh. Kemudian ia memanggil pelayan untuk datang.
“Ada yang bisa saya bantu?” ucap pelayan laki-laki itu.
“Espresso Blend K7 untuk nona ini,” sahut Chang Min sambil tersenyum.
“Aku tidak ingin minum kopi,” ucap Jeong Eun singkat.
“Espresso Blend K7,” ulang Chang Min pada pelayan itu.
“Baik. Pesanan akan segera datang. Permisi.”
Pelayan itu berlalu. Chang Min menatap Jeong Eun yang sedang memandang ke arah luar.
“Apa kau sangat senang dengan warna putih?” tanya Chang Min tanpa mengalihkan pandangan.
Jeong Eun meliriknya sejenak.
“Waeyo?”
“Anni. Aku perhatikan kau selalu menggunakan benda berwarna putih. Koper dan mantel yang kau kenakan sekarang contohnya.”
Jeong Eun tiba-tiba mendekatkan badannya pada Chang Min dan menatap laki-laki yang tertegun itu.
“Shim Chang Min, sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Aku tidak habis pikir kenapa kau bersikap seperti ini padaku. Apa karena kau seorang penyanyi terkenal, lantas kau berbuat sesuka hatimu, eoh?”
Chang Min tersenyum melihat tampang Jeong Eun yang begitu serius.
“Akhirnya kau tau siapa aku.”
“Aku minta maaf karena telah menamparmu kemarin. Apa itu cukup untuk membayar hutangku padamu?” ucap Jeong Eun lagi.
“Tidak semudah itu.”
“Jadi? Aku harus melakukan apa? Cepat katakan. Aku tidak punya banyak waktu.”
“Espresso Blend K7, silahkan,” ucap pelayan sambil meletakkan secangkir kopi di hadapan Jeong Eun.
Kemudian pelayan itu pun berlalu.
“Aku sudah lama tidak ke Jembatan Banpo. Aku ingin kau menemaniku ke sana malam ini,” ucap Chang Min kemudian menyesap kopinya.
“Mwo? Jembatan…Banpo? Untuk apa kau ke sana?”
“Cicipi dulu kopimu. Kau pasti ketagihan.”
Jeong Eun hanya menurut. Ia mulai menyesap kopinya.
“Bagaimana? Enak bukan?”
“Keure,” sahut Jeong Eun singkat.
“Kau harus habiskan itu sebelum kita ke Jembatan Banpo.”
“Ya, untuk apa kita ke sana?”
“Bukankah kau ingin melunasi hutangmu?”
Jeong Eun mendengus dan kembali menyesap kopinya.
*
“Kita akan pergi bersama. Jadi biar aku saja yang mengantarmu pulang. Suruh saja yang mengantarmu tadi pulang.”
“Tidak bisa, dia juga harus ikut,” sahut Jeong Eun.
“Baiklah.”
Saat melihat Jeong Eun berada di depan mobilnya, Seong-ho membuka pintu dan keluar.
“Mana kopernya?” tanya Seong-ho.
“Kita akan pergi ke Jempatan Banpo. Baru setelah itu koperku kembali.”
“Untuk apa kita ke sana?”
“Dia harus bayar hutangnya. Jadi, ayo kita berangkat sekarang,” ucap Chang Min sambil meraih tangan Jeong Eun.
Tanpa menolak, Jeong Eun menuruti Chang Min untuk masuk ke dalam mobilnya. Sejenak Jeong Eun menatap tangan lelaki yang memegang tangannya ini. Baru kali ini ada yang berani seperti ini padanya. Jeong Eun sendiri tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat itu.
Seong-ho mengepalkan tangannya. Geram dengan tingkah laku laki-laki yang memegang tangan Jeong Eun. Saat mobil Chang Min sudah berada di sisinya, ia baru masuk ke dalam mobil dan mengikuti mereka.
*
Keduanya duduk berdampingan, memandangi Jembatan Banpo dengan air mancur warna-warninya.
Hening. Hanya ada suara air dan beberapa orang melintas.
“Jeong Eun-a…”
Jeong Eun menoleh saat namanya disebut. Chang Min menatapnya.
“Waeyo? Jangan melihatku seperti itu.”
Chang Min hanya tersenyum. Kemudian kembali memandangi Jembatan Banpo.
“Ya, kapan kau akan mengembalikan koperku? Hampir setengah jam kita di sini. Tidak ada yang dilakukan.”
“Apa kau mau melakukan sesuatu?” tanya Chang Min tanpa melihat Jeong Eun.
“Mwo?”
“Aku hanya memintamu menemaniku duduk di sini. Setelah aku puas, kau boleh pulang membawa kopermu.”
“Ya, apakah sekarang kau belum puas?”
Chang Min menggeleng. Jeong Eun mendengus.
“Dasar orang aneh!” gumam Jeong Eun.
"Apa kau tau, aku tidak pernah merendahkan diri seperti ini, memohon-mohon pada seseorang, terlebih dengan orang yang tak kukenal. Kau membuang waktuku saja, tau tidak?"
Dengan wajah innocent, Chang Min menggeleng.
"Aigooo, kau sangat merepotkan!"
"Itu berarti aku beruntung! Seorang Jeong Eun yang sombong, memohon-mohon padaku dan menuruti semua keinginanku."
"Mwooo?"
"Bukankah itu benar?"
"Ish!" Jeong Eun tak bisa mengelak. Hanya mendengus.
Chang Min terkekeh.
“Ya, Jeong Eun-a, apa kau suka pada Seong-ho?”
“Mwo?”
“Laki-laki kaku yang datang bersamamu itu, apa kau suka padanya?”
“Kau…bicara apa sih? Kenapa bertanya tentang hal yang bukan urusanmu?”
“Katakan saja. Suka atau tidak.”
“Aigooo. Entahlah. Aku baru bertemu dengannya dalam seminggu ini. Bagaimana aku bisa mengatakan aku suka atau tidak?”
Chang Min tersenyum tipis.
“Ya, kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Anni, aku hanya menanyakan dan sekarang aku tau bahwa aku mempunyai peluang mendapatkanmu.”
“Mwo???”
Chang Min tersenyum lebar melihat ekspresi Jeong Eun.
“Apa kau seorang penjahat? Kau ingin mendapatkanku karena orang tuaku kaya raya, eoh? Begitukah?”
“Ya, kau seperti di film-film saja. Aku seorang penyanyi. Aku bisa mencari uang dengan suaraku yang merdu ini. Untuk apa aku mendekatimu hanya untuk uang? Kau ada-ada saja.”
“Lalu?”
Chang Min berdiri.
“Aku sudah puas kau temani. Kopermu ada di mobilku.”
Chang Min mulai melangkah.
“Aish! Dasar…orang yang menyebalkan. Ish!” gumam Jeong Eun kesal.
Jeong Eun pun menyusul laki-laki itu.
Melihat Chang Min mendekat, Seong-ho keluar dari mobilnya. Mereka saling bertatapan.
“Waeyo?” tanya Chang Min tidak terima ditatap tajam oleh Seong-ho.
Jeong Eun berdiri di samping Chang Min dengan tatapan bingung. Dia menatap keduanya bergantian.
“Kenapa begitu lama, eoh?”
“Itu bukan urusanmu. Ini urusanku dengan Jeong Eun-a,” sahut Chang Min sambil merangkul gadis di sampingnya.
“Cukup, hyung! Lepaskan tanganmu darinya!” hardik Seong-ho tanpa sadar.
Saat menyadari, Seong-ho menutup mulutnya. Jeong Eun tertegun. Chang Min terdiam. Rangkulannya terlepas dari pundak Jeong Eun.
“Hy..Hyung?”
***
oke, sekian dulu chapter 2-nya. lain kali aku sambung lagi yak. pesannya tetep kok, JANGAN MENDUPLIKATNYA YA. meskipun engga bagus-bagus amat, tetap karyaku. gomawooo :D
2 komentar:
kayapa memfollownya ni miy?
sebujurnya km pilih tambah pas didasbor, masukan alamat blognya ni. udah am. tapi itu dah aku kasih kolomnya.
Posting Komentar